JUST FOR YOU
Sumber: Dokumen Pribadi |
JUST FOR YOU ~ Haning Arum S.
(Part Of Buku Biografi:
R. Hadi Susanto, B.Sc., S.Pd., M.Pd. - Legowo Jalan Menuju Surga)
Saat itu, ponselku mati total dan aku mengeluh pada Papa, "Yah, Pa. Hape Haning mati total niiihhh ... Nggak bisa ngapa-ngapain, deh."
"Ya sudah, pakai saja tuu hape Papa. Papa juga nggak perlu-perlu amat pakai hape."
Iya, walaupun saat ini semua pembelajaran berlangsung daring, Papa paling malas berurusan dengan ponsel. Tidak seperti kebanyakan orang yang selama masa covid makin gandrung terhadap ponsel. Pusing, begitu kata beliau.
Akhirnya, aku gunakan ponsel Papa sementara. Sambil menabung untuk membeli ponsel baru.
***
Menolak ke Dokter
"Pa, ke dokter saja, ya. Kakinya makin bengkak dan perut Papa kembung," ucapku.
Seperti biasa beliau selalu menolak ke dokter jantung dengan alasan Covid. Bahkan setelah adik beliau datang ke rumah untuk membujuk. Katanya bercanda, "Yang sakit saja nggak kenapa-kenapa, kok yang sehat maksa-maksa. Jangan melanggar HAM dong." Kita semua pun tertawa mendengarnya.
Papa selalu bilang, "Kita datang ke dunia ini sendiri. Kemudian berdua setelah menikah, lalu bertiga, berempat dan seterusnya. Namun, akhirnya kita akan kembali lagi sendiri, bukan bersama-sama. Jadi jangan lupa bekal untuk diri kita sendiri di akhirat nanti."
Akhirnya hari Rabu, tanggal 3 Februari 2021, Papa luluh dan mau diajak ke dokter jantung. Dokter sebenarnya menyarankan untuk opname, karena jantung Papa sudah banyak cairan. Namun, karena prosedur rawat inap saat Covid agak berbelit, maka diputuskan untuk rawat jalan saja. Sempat Papa berkata pada suamiku saat menunggu obat, "Papa nanti diantar, ya. Kalau tidak nanti kesasar." Suamiku yang seorang indigo, mengiyakan.
Mungkin karena perutnya terasa begah, Papa mengurangi makan. Namun, malam itu, Papa meminta kepadaku untuk dibuatkan nasi goreng dengan wortel, buncis, dan kacang polong. Nasi goreng ala hotel, begitu katanya. Juga buncis dan wortel yang direbus seperti pelengkap menu steak.
Kamis pagi, Papa mengeluh sesak. Aku meminta beliau untuk menggunakan oksigen dan istirahat. Lima menit, hanya lima menit saja Papa menggunakannya, lalu berkata, "Papa hari ini mau ke sekolah aja deh. Mau ikut rapat dan menyelesaikan laporan keuangan masjid sekolah." Padahal biasanya laporan dibuat hari Senin setiap minggunya.
Hari itu dijalani Papa seperti biasa.
Jumat pukul 4 pagi. Seperti hari-hari lainnya, seperti biasa aku selalu bangun untuk buang air kecil dan seperti biasa juga selalu bertemu Papa di ruang makan. Beliau selalu bangun jam 2 pagi untuk sholat malam, qiamullail melakukan "laku agung" hingga waktu subuh.
Namun kali ini kulihat Papa agak gelisah, duduk di kursi ruang makan dengan berbalut sarung dan keringat yang bercucuran. Sempat kami bersapaan dan berbicara sebentar.
***
Hujan di Hari Jumat
Pukul 5.20 WIB
"Niiinnnggg! Banguunnn ..., Papaaa!" Kudengar Mama berteriak di depan pintu kamar dan spontan aku melompat bangun dan langsung berlari menuju kamar beliau.
Kulihat napas Papa tersengal, lidah melipat ke langit-langit. Ya Allah ..., apakah ini waktunya? Aku mendekatinya aku usap dadanya dan kubacakan Al Fatihah berkali-kali. Mulai kudengar anak-anakku terisak di belakangku dan kudengar Mama memanggil tetangga depan rumah yang sekaligus RW, meminta bantuan.
"Pak Hadi sudah nggak ada." Sekilas kudengar ada yang berkata demikian. Kemudian terdengar ambulans komplek datang, dan beberapa orang mulai bergerak masuk termasuk Pak RW dan suamiku. Aku menyingkir dan memberikan ruang untuk mereka. "Kita bawa ke RS terdekat saja. RS Meilia," ucap Mama.
Kutelepon tante dan omku yang tinggal di Pondok Ranggon, meminta kehadiran mereka segera ke rumah. Juga aku mohon bantuan tetangga sebelah rumah sambil terisak bercucuran air mata. Pikiranku berkecamuk, masa nifasku pun belum selesai. Terpaksa kupindahkan sendiri mobil dari garasi untuk diparkir di luar karena akan digunakan untuk persiapan memandikan jenazah Papa. Papa, jangan tinggalkan putri semata wayangmu ini, Pa.
***
Mobil ambulans telah kembali. Kulihat Papa sudah terbaring tenang di atas tandu yang tadi digunakan untuk menggotong Papa masuk dalam mobil. Papa sudah tertidur dengan nyenyak.
***
Orang-orang mulai berdatangan, begitu pun dengan adik-adik beliau dan keluarga besar dari Papa maupun Mama. Papa diselimuti kain batik, wajahnya ditutupi hijabku yang berwarna broken white.
Hatiku menjerit-jerit, tidak percaya, tidak ingin Papa meninggalkanku.
Rumah semakin ramai, siswa dan mahasiswa beliau baik yang masih diajar maupun alumni, kolega, dan papan bunga mulai berdatangan. Masyaa Allah, begitu banyak orang yang mendoakan Papa.
***
Jenazah Papa dibawa ke masjid. Usai sholat Jumat Papa akan disholatkan untuk kemudian dikebumikan. Begitu banyak orang yang menyolatkan, hingga ke pelataran masjid, padahal masjid cukup besar. Ternyata banyak sekali orang yang ingin mensalatkan, mendoakan, dan melepaskan kepergianmu. Maafkan putrimu yang tidak bisa ikut mensalatkan karena masih dalam masa nifas.
Mobil jenazah berangkat ke TPU Pondok Ranggon diikuti banyak sekali mobil-mobil lain di belakangnya. Si sulung yang sudah remaja terpaksa tidak ikut ke pemakaman akungnya karena harus menjaga adik bungsunya yang baru berusia satu bulan.
Kuikuti prosesi pemakaman, hatiku berontak saat melihat jenazah Papa dimasukkan ke liang lahat. Suamiku, adiknya Mama, sepupu serta juru makam melakukan prosesi tersebut. Ya Allah ..., baru tadi pagi kami berjumpa dan bicara. Kenapa siang harinya aku melihat papaku tersayang dimakamkan? Takhenti kumenangis karena sakit kehilangan Papa. Kugenggam tangan Mama untuk saling menguatkan.
***
Sore hari setelah pekaman, hujan deras membasahi bumi. Hatiku dingin, sekilas terlintas pikiran bodoh bahwasanya jenazah Papa yang hanya dibalut kain kafan kedinginan di dalam liang lahat. Kurasakan tangan suamiku mengusap punggungku, "Maaf tidak memberitahumu kalau hari ini akan segera datang. Aku tidak boleh melanggar takdir Tuhan dengan memberitakan masa depan," sesalnya. Aku pun mengerti.
Kupandangi foto Papa, masih menangis. Sambil mengingat apa yang pernah beliau katakan, "Kita datang ke dunia ini sendiri. Kemudian berdua setelah menikah, lalu bertiga, berempat dan seterusnya. Namun akhirnya kita akan kembali lagi sendiri, bukan bersama-sama. Jadi jangan lupa bekal untuk diri kita sendiri di akhirat nanti."
Hari Kamis, tanpa prasangka apa pun, Papa telah menyelesaikan laporan keuangan masjid, sehari sebelum wafat, yang harusnya diselesaikan hari Senin. Alhamdulillah ....
Aku pun bersyukur karena sempat membuatkan nasi goreng, permintaan Papa yang terakhir kalinya.
Kulirik ponsel android Papa yang sementara kugunakan. Ponsel dengan RAM 1 giga, itu pun ponsel bekas Mama. Di hari ulang tahunnya yang lalu Papa membeli sebuah ponsel bagus, tetapi malah diberikannya untuk Mama dan beliau menggunakan ponsel lama Mama. Begitulah kesederhanaan beliau.
Kuusap ponsel tersebut, dan entah apa yang menggerakkanku untuk membuka casing kulit yang membungkusnya dan menemukan secarik kertas di belakangnya yang berisi tulisan tangan Papa ... JUST FOR YOU
****
In memoriam
Alm. Hadi Susanto bin Markun Sosrodiharjo
Part of Buku Biografi
R. Hadi Susanto, B.Sc., S.Pd., M.Pd.
Legowo Jalan Menuju Surga
Tags:
Papa
0 comments